Powered By Blogger

Cari Blog Ini

Rabu, 07 April 2010

AIR ALKAUSAR

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, ia adalah yang terputus (dari rahmat Allah). [Al Kautsar : 1-3] Surat Al Kautsar merupakan surat yang terpendek dalam Al Qur`an. Isinya mengandung ungkapan-ungkapan yang indah lagi mengagumkan, membuat yang membacanya berdecak kagum. Makna-makna kalimatnya yang kuat dan istimewa menunjukkan menjadi bagian mukjizat Ilahi. [2]

Betapa agung surat ini dan betapa melimpah pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dalam bentuknya yang ringkas.

Sebenarnya, makna surat ini dapat diketahui melalui ayat penutupnya. Allah telah menghalangi kebaikan dari orang-orang yang membenci RasulNya. Ia terhalangi untuk mengingatNya, hartanya dan keluarganya, sehingga pada gilirannya, di akhirat ia akan merugi akibat dari semua perbuatan yang tidak terpuji terseut. Kehidupannya pun tanpa nilai, tidak mendatangkan manfaat. Ia tidak membekali diri dengan amalan shalih saat hidup di dunia, sebagai bekal di hari akhiratnya. Hatinya akan terhalangi dari kebaikan, sehingga dia tidak mengenali kebaikan, apalagi mencintainya. Begitu juga ia terhalang dari beriman kepada RasulNya. Amalan-amalannya akan terhalangi dari ketaatan. Tidak ada satupun yang menjadi penolong baginya. Dia tidak akan memberikan apresiasi terhadap ajaran Rasulullah, bahkan ia menolaknya untuk memuaskan hawa nafsunya atau pengikutnya, gurunya, pemimpinnya dan lain-lain.

Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah atau menolaknya untuk memuaskan hawa nafsumu, atau membela mazhabmu, atau disibukkan dengan syahwat-syahwat atau urusan dunia. Sesungguhnya Allah l tidak mewajibkan untuk taat kepada seseorang, kecuali taat kepada RasulNya, dan mengambil apa-apa yang datang darinya. Jika seluruh makhluk menyelisihi seorang hamba sementara ia taat kepada Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak akan menanyainya tentang itu. Maka barangsiapa yang taat atau ditaati, sesungguhnya hal itu terjadi hanya dengan mengikuti Rasul. Seandainya diperintahkan dengan sesuatu yang menyelisihi Rasul, maka tidak perlu ditaati. Pahamilah hal itu, dan dengarkanlah. Taatilah dan ikutilah, jangan berbuat bid`ah, niscaya amalanmu tidak akan terputus dan tertolak. Tidak ada kebaikan bagi amalan yang jauh dari Sunnah Rasul, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang mengamalkannya. Wallahu a’lam.[3]

Ayat ini menunjukkan keluasan karunia tanpa batas, dan kenikmatan yang besar lagi melimpah. Seperti firman-Nya

Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. [Adh Dhuha : 5]

Karunia yang besar ini berasal dari Dzat Pemberi karunia Yang Besar, kaya, lagi luas anugerahnya. Oleh karena itu, kata ganti pertama (mutakallim) dalam ayat ini, bentuknya dijama`kan, menjadi innaa (إِنَّآ) yang menandakan keagungan Sang Rabb, Dzat Yang Maha Pemberi.

Karunia ini ini utuh dan berkesinambungan sebab kalimat pada ayat ini diawali dengan kata inna yang menunjukkan penegasan dan realisasi kandungan berita layaknya fungsi sumpah. Demikian juga, Allah menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau) dalam kalimat ini, yang bertujuan sebagai penekanan kejadian peristiwa. Sebab obyek yang sifatnya harapan yang berasal dari Dzat Yang Maha Mulia, terhitung sebagai perkara yang pasti terjadi.

Kata Al-Kautsar berbentuk wazan fau’al seperti kata naufal. Bangsa Arab menamakan segala sesuatu yang melimpah baik kuantitasnya, atau besar kedudukan dan urgensinya dengan nama kautsar.

Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam menafsikan Al Kautsar yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat mereka terangkum dalam keterangan berikut ini :
Pertama, sungai di surga.
Kedua, telaga Nabi di Mahsyar.
Ketiga, kenabian dan kitab suci.
Keempat, Al Qur`an.
Kelima, Islam.
Keenam, kemudahan memahami Al Qur`an dan aturan syariat.
Ketujuh, banyaknya sahabat, ummat dan kelompok-kelompok pembela.
Kedelapan, pengutamaan Nabi diatas orang lain
Kesembilan, meninggikan sebutan Nabii
Kesepuluh, sebuah cahaya dihatimu mengantarkanmu kepada-Ku, dan menghalangimu dari selain-Ku
Kesebelas, syafaat.
Keduabelas, mukjizat-mukjizat Allah yang menjadi sebab orang-orang meraih hidayah melalui dakwahmu.
Ketigabelas, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Keempatbelas, memahami agama.
Kelimabelas, shalat lima waktu.
Keenambelas, perkara yang agung.
Ketujuhbelas, kebaikan yang merata yang Allah berikan kepada Beliau.

Al Wahidi berkata,”Kebanyakan ahli tafsir berpendapat, bahwa Al Kautsar adalah sungai di surga.” [4]

Panutan para ulama tafsir, Ibnu Jarir At Thabari berkata: “Pendapat yang paling utama menurutku adalah pendapat orang yang mengatakan Al Kautsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya.

Kami mengatakan itu sebagai tafsiran yang paling utama lantaran banyaknya riwayat dari Rasulullah yang menjelaskannya” [5]

Al Qurtubi berkata , ”Penjelasan yang paling benar adalah perkataan yang pertama dan kedua, karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi dalam sebuah nas tentang Al Kautsar.”[6]

Asy Syaukani mengatakan,”Tafsir ini dari Ibnu Abbas, pandangannya bertumpu pada maknanya secara bahasa. Akan tetapi Rasulullah telah menafsirkannya sebagai sungai di surga dalam haditsnya yang shahih”.

Aku (Syaikh Salim) berkata: Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tafsir merupakan kebenaran yang nyata, karena beberapa perkara berikut ini:

Pertama : Telah diriwayatkan dari Rasulullah , bahwasanya Beliau menafsirkan Al Kautsar sebagai sungai di surga dalam beberapa hadits. Diantaranya.

Dari Anas, dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, Beliau mengantuk sekejap. Kemudian Beliau mengangkat kepalanya dengan senyum. Maka kami bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Baru saja turun kepadaku sebuah surat,” maka Beliau membaca surat Al Kautsar. Kemudian Rasulullah bersabda,”Apakah kalian tahu apakah Al Kautsar itu?” Maka kami berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan Rabbku Azza wa Jalla untukku. Disana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang….” [7]

Kedua. Keterangan-keterangan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan nash hadits yang shahih.

Dari Abi Basyar dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, sesungguhnya dia berkata tentang Al Kautsar. Ia adalah limpahan kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah. Abu Bisyr berkata kepada Said bin Jubair ‘Sesungguhnya orang-orang menyangkanya sungai di surga’. Maka Said berkata,”Sungai di surga merupakan bagian dari kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah” [8].

Ibnu Athiyah menyatakan : “Alangkah indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah tentang sungai (di surga) telah ditetapkan dalam hadits Isra (mi’raj) dan hadits lainnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawatNya kepada Muhammad dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayahNya.” [9]

Ibnu Katsir menjelaskan : “Penafsirannya bisa dengan sungai dan selainnya. Karena Al-Kautsar berasal dari kata Al Katsrah, yaitu kebaikan yang melimpah ruah. diantaranya adalah berbentuk sungai tersebut… Telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya dia menafsirkannya dengan makna sungai juga.

Ibnu Jarir berkata : “Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami (ia berkata), Umar bin Ubaid telah menceritakan kepada kami dari Atha`dari Said bin Jubair dari Ibnu Abba, ia berkata:”Al-Kautsar adalah sungai di surga. Kedua tepi sungai tersebut adalah emas dan perak, mengalir di atas yaqut (sejenis batu mulia) dan mutiara, airnya putih berasal dari salju dan lebih manis daripada madu.”[10]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Jadi, kutipan Said bin Jubair terhadap perkataan Ibnu Abbas yang berbunyai “(Al-Kautsar) itu adalah kebaikan yang melimpah ruah”. tidak bertentangan dengan pernyataan lainnya yang menafsirinya sebagai sungai di surga. Karena sungai merupakan bagian dari kebaikan yang banyak. Mungkin saja Sa’id ingin menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Abbas lebih utama karena bersifat umum. Akan tetapi telah ditetapkan pengkhususannya dengan sungai dari keteranan Nab, maka tidak ada pilihan untuk mengesampingkannya”. [11]

Dengan itu menjadi jelas bahwa:
1). Tafsir Ibnu Abbas tidak berltabrakan dengan penjelasan Rasullullah bahwa Al-Kautsar adalah sungai di surga. Bahkan ini juga merupakan tafsiran Ibnu Abbas dalam riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan, sebagai telah disebutkan oleh Ibnu Katsir.
2). Bahwa tafsir Ibnu Abbas masuk dalam kandungan ayat secara umum. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata:”Kata Al-Kautsar yang sudah populer merupakan sungai di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang jelas lagi shahih.

Ibnu Abbas berkata : Al-Kautsar sesungguhnya merupakan kebaikan yang banyak, yang Allah berikan kepada Rasulullah. Jika penduduk surga yang paling rendah (tingkatannya saja) dianugerahi dengan sepuluh kali lipat dunia seisinya. Maka bayangkan saja apa yang akan Allah sediakan bagi Rasulullah dalam surga kelak. Maka, Al-Kautsar menjadi sinyal dan indikator banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada Nabi yang berbentuk kebaikan-kebaikan dan tambahan lainnya serta begitu tingginya kedudukannya (nikmat-nikmat itu). Sungai tersebut yaitu Al-Kautsar, merupakan sungai yang terbesar, paling bagus airnya, paling jernih, paling manis dan yang tertinggi.

Jadi, maksudnya adalah Al-Kautsar merupakan sungai di surga, menjadi bagian kebaikan yang banyak sekali yang Allah anugerahkan kepada rasulNya di dunia dan akhirat. [12]

Aku (Syaikh Salim) berkata: Perkataan yang memastikannya dengan sungai di surga adalah pendapat yang benar, karena adanya keterangan jelas dari Rasulullah. Meskipun tafsiran yang umum tidak berseberangan dengan tafsiran yang khusus, sebab itu termasuk menjadi bagiannya. Tapi ada unsur pemutarbaikan fakta. Alasannya, kebaikan yang melimpah yang diberikan Allah juga mencakup Al-Kautsar. Hal ini telah tercantum dalam hadits Anas yang telah lewat dalam Shahih Muslim : “Itu adalah sungai yang dijanjikan Rabbku. Di sana terdapat kebaikan yang melimpah”. Ini masuk dalam kategori penyebutan obyek yang besar untuk memasukkan kenikenikmatan yang tingkatannya lebih rendah”.

Ketiga : Keterangan yang dikemukakan oleh Al-Qurtubi, yaitu :
“Dan semua tafsiran yang dikemukakan dalam masalah ini (makna Al-Kautsar), telah diberikan kepada Rasulullah sebagai tambahan atas karunia telaga. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan yang banyak kepada Beliau” [13]

Jadi, tidak ada yang pertentangan antara penafsiran Al-Kautsar dengan sungai atau telaga.

Al-Kautsar adalah sungai di surga dan airnya akan dialirkan keadalam telaga. Maka Al-Kautsar airnya berada dalam sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Dzar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa bejananya al-ahaudh (telaga)?” Rasulullah menjawab: ” Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh bejananya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang dan planet-planet yang ada di langit di malam malam gelap gulita tanpa awan. Bejana-bejana dari surga. Barangsiapa yang minum darinya, maka tidak akan merasa haus selamanya. Ada dua talang dari surga yan menjulur ke dalamnya. barangsiapa yang minum darinya, tidak akan merasa haus selamanya. Lebar sungai tersebut sama dengan panjangnya, kira-kira sejauh antara Amman dan Aila`. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu”.[14]

WAJIBNYA BERIMAN KEDAPA TELAGA NABI
Al-Qurtubi berkata dalam Al-Mufhim [15]
“Di antara perkara-perkara yang diwajibkan atas setiap muslim mukallaf untuk mengetahuinya dan membenarkannya adalah:

Bahwasanya Allah telah menganugerahkan karunia buat NabiNya Muhammad secara khusus berupa Al-Kautsar, yaitu haudh (telaga) yang telah dijelaskan nama, sifat, minuman dan bejananya dalam banyak hadits yang shahih dan masyhur. Sehingga membekaskan pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang bulat. Sebab, telah diriwayatkan dari Nabi melalui lebih dari tiga puluh sahabat-sahabat, riwayat dua puluh orang diantara mereka tercantum dalam Shahihain dan riwayat lain terdapay dalam selain dua kitab tersebut, dengan jalur periwayatan yang shahih dan riwayat yang masyhur”

Ulama salaf dan ulamah ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan kholaf telah sepakat untuk menetapkannya. Sedangkan aliran ahli bid’ah mengingkarinya. Merka menyimpangkannya dari makan tekstualnya, dan berlebih-lebihan dalam menafsirkannya tanpa dalil yang bisa diterima akan atau budaya. Padahal tidak ada kepentingan untuk menakwilkannya. Maka, muncullah orang-orang yang merobek kesepakatan ulama salaf dan meinggalkan madzhab imam generasi khalaf.

Qadli Iyadh berkata: “Hadits-hadits tentang telaga adalah shahih, beriman kepadanya merupakan suatu kewajiban, dan membenarkannya merupakan bagian dari iman. Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah maknanya adalah seperti makna zhahirnya, tidak perlu ditakwilkan atau diperdebatkan lagi.

Haditsnya bersifat mutawatir. Banyak sahabat yang meriwayatkannya. Imam Muslim menyebutkan hadits itu melalui riwayat Ibnu Amr bin ‘Ash, Aisyah, Ummu Salamah, Uqbah bin Amir, Ibnu Mas`ud, Harits bin Wahab, Mustaurid, Abu Dzar, Tsauban, Anas dan Jabir bin Samurah.

Sedangkan selain Imam Muslim, meriwayatkannya melalui sahabat Abu Bakar As-Siddiq, Zaid bin Arqam, Abu Umamah, Abdullah bin Zaid, Abu Barzah, Suwaid bin Jabalah, Abdullah bin Ash Shanabahi, Al Barra` bin ‘Azib, Asma` binti Abu Bakr, Khaulah binti Qais dan lain-lain.

An-Nawawi berkata: Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga dari Abu Hurairah.

Selain Bukhari dan Muslim juga meriwayatkannya dari riwayat Umar bin Khatthab, ‘A’idz bin Umar dan lainnya.

Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi telah mengumpulkan seluruhnya dalam bukunya Al Ba’tsu Wan Nusyur lengkap dengan sanad-sanadnya. Qhadi Iyadl berkata, “Dengan pnejelasan ini, hadits tersebut bisa masuk kategori mutawatir.”[16]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Seluruh sahabat yang disebutkan Qadli Iyadh berjumlah dua puluh lima orang, An-Nawawi menambah tiga sahabat lagi dan aku telah menambah jumlah itu sebanyak yang mereka sebutkan, sehingga semuanya berjumlah lima puluh orang sahabat….

Telah sampai kepadaku kabar bahwa sebagian ulama mutaakhirin (ulama-ulama sekarang) mencatat jumlah sahabat (yang meriwayatkannya) lebih dari delapan puluh orang”.

Jadi, ayat tersebut menunjukkan dengan jelas terhadap apa yang menjadi masyhur di kalangan mayoritas ulama tentang keistimewaan pemberian Al-Kautsar kepada Nabi kita. Beliaulah yang mempunyai maqam mahmud dan al-haudh (telaga).

Ya Allah! berikanlah kami minum dari telaga itu yang akan membuat kami tidak akan merasa haus setelah meminumnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya Engkau menjamin segala kebaikan dan Cukuplah Engkau bagi kami, sebaik-baik penolong dan hanya kepadaMu tujuan hidup kami.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Diangkat dari Khulashatul Atsari Fi Ta’wili Qaulihi Ta’ala Inna A’thainaakal Kautsar dari Majalah Al-Ashalah Th. V edisi 29, 15 Sya’ban 1421H. Diterjemahkan oleh Suhaib Singapuri hafidzahullah.
[2]. Al-Fawaid Al-Musyawwiq hlm. 253-255
[3]. Daqaiqu At-Tafsir (6/311-312)
[4]. Al-Wasith Fi Tafsiri Al-Quranil Majid (4/565)
[5]. Jami’u Al-Bayan Fi Tafsiri Al-Qur’an (30 : 208-209)
[6]. Al-Jami’u Li Ahkamil Qur’an (20/218)
[7]. HR Muslim (400) kitab shalat bab hujjatu man qaala al-basmalah ayatun min awwali kulli surat siwa bara’ah.
[8]. HR Bukhari (8/731 – Fathul Bari), kitab at-tafsir bab surat Inna A’thainaakal Kautsar
[9]. Al-Muharrar Al-Wajiz Fi Tafsiri Al-Kitabi Al-Aziz (16/372-373)
[10]. Tafsiru Al-Quranil Azhim (4/596)
[11]. Fathul Bari (8/732)
[12]. Daqaiqu At-Tafsir (6/312-313)`
[13]. Al-Jami’u Li Ahkamil Quran (20/318)
[14]. HR Muslim (2300) kitab al-fadhail bab itsbati haudh nabiyyina washfan
[15]. Al-Muslim (6/90)
[16]. Syarah Shahih Muslim (15/52-53) ا نا اءطينك ا اكؤ شر وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ عن أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ

HUKUM MELAFALKAN NIAT DALAM SHOLAT

1. Mazhab Hanafi : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan sholat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. (al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66)

2. Mazhab Maliki : Ulama Malikiyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan (al-Syarhu al-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305. al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520).

3. Mazhab Syafi’i : Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud melaksanakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. Niat sholat disunnahkan melafadzkan menjelang Takbiratul Ihramdan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan. (Hasyiyah al-Bajury I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253. al-Muhadzab I/70 al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab III/243-252).

4. Mazhab Hambali : Ulama Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sholat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. (al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370)

potensi rohaniah manusia

Tidak sedikit orang yang enggan mendengar, apalagi mempercayai, suatu peristiwa luar biasa atau suprarasional. Namun demikian, orang beriman sulit menolak peristiwa yang diberitakan oleh agamanya walaupun tidak sejalan dengan hukum alam. Bagaimana Nabi Isa a.s. lahir tanpa ayah (QS 19:26). Konon, suatu ketika Kholifah Umar bin Khathab r.a. berkhutbah di Madinah dan tiba-tiba berteriak: “Ya Sariyah, Al-Jabal” (Wahai Sariyah, naiklah ke gunung!). sebab dilihatnya pasukan Sariyah yang ketika itu berada di Syria sedang terkepung. Teriakan Kholifah Umar r.a. didengar oleh pasukan Sariah sehingga selamat.
Ada yang menyatakan bahwa peristiwa semacam itu adalah perbuatan Tuhan yang kuasa membatalkan hukum alam, dan ada pula yang mengakuinya bahwa kejadian-kejadian semacam itu berada dalam batas hukum alam yang belum terungkap.

Pada dasarnya manusia itu terdiri dari dualisme yang saling melengkapi, yaitu manusia terdiri dari badan kasar (jasmani) dan badan halus (rohani), kalau jasmani digerakkan oleh fikiran, perasaan dan kemauan yang melahirkan kekuatan lahir. Sedangkan rohani digerakkan oleh cipta, rasa dan karsa yang melahirkan kekutan batin.
Kekuatan lahir membutuhkan penyokong berupa makanan yang berasal dari tanah yaitu tumbuhan,binatang dan benda yang bersifat jasadiah, dan kekuatan batin juga membutuhkan penyokong berupa makanan dari Allah yaitu agama yang termaktub dalam Al-quran. Kekuatan lahir yang berupa panca indra (Tonus) bisa lelah, berbeda dengan kekuatan batin (Titonus) yang tidak akan merasa lelah.
Rohani harus mengendalikan jasmani yang cenderung ke sifat kebinatangan yang disebut dengan nafsu hewaniah dan inilah yang menjadi ia terhijab dengan Tuhannya. Sedangkan orang yang bersih hatinya akan mudah menerima nur ilahi maka ia akan mencapai Lathifatul Qalbi (Lathifatul Rabbaniah) yaitu ia telah dapat memerintah dan mengatur anggota badan jasmani. Inilah hakikat diri yang sebenarnya dan juga merupakan induk dari lathifah-lathifah yang lain (lathifatul qalbi, lathifatul ruhi, lathifatul sirri, Lathifatul khofiy, lathifatul akhfa, lathifatun nafsunathiqoh, lathifatun kulli jasad). Lathifatul Qalbi (Lathifatul Rabbaniah) ini lebih dikenal dengan nafsul muthmainnah (QS 89:27)
Dengan menggunakan cahaya matahari atau cahaya lampu, energi jasadiah manusia dapat membaca, meliaht gerak-gerik sesuatu. Cahaya yang dipantulkan oleh batu, logam, kertas atau benda lainnya menembus lensa mata, mengenai retina, kemudian melalui sel-sel urat syaraf, proses fisika yang di alami cahaya itu di ubah menjadi proses kimiawi, biologis, terus kepusat penelitian dalam otak. Dalam pusat penelitian itu terjadilah peralihan proses jasadiah kepada proses ruhani. Maka terbentuklah rangka pengertian,pendapat,kesimpulan dan ilmu pengetahuan.
Begitu pula halnya jika seseorang membaca al-quran atau lainnya melalui penggunaan cahaya (Nur) terjadilah komunikasi jasadiah. Pada pusat pengolahan didalam otak, maka terjadilah proses ruhaniah, gerakan pusat otak jasadiah ini berlangsung sebagai transformator gerakan hati, maka terjadilah komunikasi ruhaniah.
Alexis Carrel, peraih hadiah Nobel 1912 dalam bidang kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown (Makhluk yang Belum Dikenal), menulis tentang daya (potensi) manusia. Telepati, yakni daya untuk menyampaikan atau menangkap sesuatu kepada, atau dari orang lain dari jarak jauh dan tanpa alat, dikenal dalam litelatur keagamaan dan di buktikan oleh ilmuwan, walaupun banyak ilmuwan yang meragukannya, itu wajar, karena telepati jarang terjadi, dan lebih-lebih lagi kadang telepati berada di celah tumpukan berbagai kisah khayalan yang di ciptakan manusia.
Kita dapat menyaksikannya dalam berbagai situasi, antara lain dalam sholat, sholat adalah konsentrasi penuh menembus alam ini menuju totalitas wujud yang tak terbatas, ini bukan bidang nalar. Para filosof dan ilmuwanpun sukar memahaminya. Hanya orang-orang yang jauh dari rayuan gemerlap dunia yang mudah merasakannya, semudah merasakan kehangatan mentari di pagi hari.
Ada manusia yang mampu menyelami rahasia pikiran orang lain, merasakan peristiwa silam, bahkan melihat dari jarak dan masa yang sangat jauh, kemudian melukiskannya dengan rinci. Ini memang jarang terjadi, tetapi pernah terjadi.
Semua agama memperkenalkan hal-hal yang suprarasional, tetapi tidak sedikit penganut agama yang memperluas wilayahnya, sehingga yang irasional pun ikut mereka suburkan. Ini antara lain, yang melahirkan penolakan segala informasi, kecuali yang rasional.
Apa yang penulis harapkan dari ini bukan berarti berupaya menyuburkan hal-hal yang irasional dan khurafat yang masih terdengar hingga saat ini. Tetapi adalah berusaha mendudukan persoalan bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang yang suprarasional dan ada pula potensi manusia yang belum dikembangkan.
Didalam tasawuf hal-hal yang suprarasional sering ditemukan baik dalam literatur-literatur maupun dari kisah-kisah yang sering kita baca dan kita dengar, seperti beberapa karomah para aulia, sebut saja kisah para Wali Songo ketika menyebarkan islam yang sarat dengan hal-hal yang suprarasional.
Sikap dan perilaku manusia berpusat pada kalbu. Jika kalbunya bersih, maka keseluruhan perilakunya bersih. Sebaliknya jika kotor, maka keseluruhan perilakunya kotor. Melalui kalbu, hidayah (nur Ilahi) turun ke bumi. Kalbu yang mendapat cahaya akan memantulkan cahayanya pada akal.
Manusia sebagai kesatuan jiwa-badan mampu menangkap seluruh realitas, materi dan nonmateri, karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistemologis, yaitu: serapan panca indera, kekuatan akal, dan intuisi. Aspek lahir (external) realitas dapat ditangkap oleh panca indera; Aspek batinnya (internal) dapat di tangkap oleh akal; dan tingkatan yang paling tinggi dapat ditangkap oleh intuisi.
Akal dan intuisi tumbuh dari akar yang sama, tetapi mempunyai kemampuan yang berbeda. Namun, perbedaan kemampuan ini tidak menjadi langkah awal pembentukan jurang pemisah seperti terpisahnya antara kaum idealisme dan kaum empirisme akan tetapi antara pikiran dan intuisi saling tergantung dan saling melengkapi.
Intuisi dapat di asah dan di tingkatkan diantaranya melalui sholat, karena sholat bukan hanya sekedar pelaksanaan ritual rutin, melainkan lebih dari itu, seperti: 1) sholat sebagai pelengkap kegiatan intelek (akal) bagi yang mengadakan peninjauan (penelitian) tentang alam. 2) sholat adalah semacam renungan atau kegiatan berpikir kontemplatif yang semakin lama semakin intens sehingga mampu menangkap realitas. 3) sholat seperti ini akan memperoleh jawaban mengenai misteri alam semesta.
Dalam sholat, posisi tubuh diatur sedemikian rupa, kemudian akal memusatkan perhatiannya pada Tuhan. Intuisi – dalam pengertian akal yang lebih tinggi – meneruskan pemusatan itu. Pemusatan intuisi terus meningkat, dalam keadaan ini kesadaran akal akan berhenti. Sementara itu, indera jauh lebih tenang kondisi ini oleh Muhammad Iqbal disebut dengan fatalisme dalam islam. Dalam keadaan semacam ini si musholli akan tetap tenang meskipun peluru-peluru berdesingan di sekitarnya.
Di samping sholat intuisi dapat ditingkatkan melalui laku yang berat yang dalam tasawuf di kenal dengan maqomat (syariat, thariqat, hakikat,…) usaha ini berlangsung secara ajeg (istiqomah) yang biasa di sebut dengan wirid (dzikrullah). Wirid yang terus menerus pada suatu saat sampai pada mukasyafah, dan meningkat pada mujahadah. Dengan kata lain kita dapat memperoleh pencerahan ruhaniah (illumination).
Pencerahan ruhani berpuncak hubungan langsung dengan Tuhan. Orang yang berhasil sampai pada tataran ini biasanya disebut dengan insan kamil.
Tentu saja akan terdengar ganjil bila didengar oleh telinga-telinga siapa saja yang belum pernah mengalami pengalaman pencerahan ruhani maupun mengerti disiplin ilmu tasawuf dengan baik, wajar sekali apabila tokoh-tokoh sufi dicap sebagi pembual, dan pembohong, dan bahkan diklaim sebagi kafirnya orang kafir.
Akan tetapi bahan-bahan pengalaman religius tidak dapat dirubah ketingkat bahan-bahan keterangan ilmu pengetahuan yang manapun juga. Filsafat, ilmu jiwa, berbagai metode ilmu kealaman? Semuanya tidak! Ilmu alam hanya menjangkau sebagian dari realitas yang nampak. Untuk mencapai hubungan mesra dengan kebenaran mutlak pikiran harus tegak lebih tinggi lagi dan mendapatkan kepuasan dalam suatu sikap kesadaran. Ini adalah suatu potensi manusia yang harus terus digali dan ditingkatkan. Wallahu a’lam.

TASAWUF

Tahu pada empat silabus/ tingkatan/ maqom ilmu keagamaan menurut ahli tasawuf

1.Pemahaman syari'at
2.Pemahaman tarekat
3.Pemahaman hakikat
4. Pemahaman makrifat

Tasawuf adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, renungan dsb.
Ilmu tasawuf disebut juga sebagai ilmu suluk atau ilmu tarekat.

Dalam perkembangan peradaban di dunia yang semakin materialisme, ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang makin beragam dan meningkat, maka banyak terjadi keguncangan hati serta ketidakstabilan jiwa.

Oleh karena itu terasa pentingnya bimbingan rohani dengan tuntutan agama.
Agama Islam, sebagai jalan untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat kadang-kadang dipahami sebagai indoktrinasi-indoktrinasi yang kaku.
Dalam banyak kejadian sering diucapkan kata-kata kafir, halal, haram, murtat, tanpa memahami hakekatnya.

Ilmu tasawuf berupaya untuk menuntun manusia menuju ketenangan jiwa yang disebut sakinah.
Ketenangan jiwa manusia bersumber dari hati.

Menurut Al-Ghazali ada tiga istilah yang pengertiannya sama, yaitu Qolbun, Nafsun, dan Roh.
Secara harfiah pengertian ketiga istilah tersebut berbeda. Pengertian hati dalam ilmu Tasawuf dibagi menjadi empat:

a. Qolbun
Artinya bolak-balik, setiap waktu berubah-ubah.
Bagi orang yang belum mencapai hakekat, inilah yang disebut sebagai hati.
Perasaannya, jiwanya terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang ada.

b. Dlamirun
Artinya lubuk hati. Orang ini telah mengetahui pedoman hidup, telah mengetahui nilai-nilai kebenaran, tapi kadang-kadang ia bisa lepas kontrol dan tergelincir.

c. Fuadun
Artinya hati nurani. Orang yang bisa menerima kebenaran dan melaksanakannya di dalam setiap perbuatannya.

d. Sirrun
Artinya rahasia hati. Orang yang telah dibimbing oleh Allah.

Dalam kehidupan masyarakat kita sering bertemu dengan orang-orang yang mendapat "barokah" dari Allah dalam bentuk:

a. Orang yang meninggal dunia dengan tenang, khusnul khotimah.
b. Orang yang meninggalkan keturunan manusia-manusia yang saleh.
c. Orang-orang yang di masa tuanya senang walaupun di masa muda penuh kesulitan.
d. Orang-orang yang dalam kesulitan selalu mendapat pertolongan Allah.
e. Orang-orang yang menjalani hidup senantiasa dalam keadaan tenang-tenteram.
f. Orang-orang yang selalu dapat berbuat amal kebajikan dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun.

Untuk mencapai keberkatan tersebut ada jalannya yaitu:

a. Memiliki keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT, rahmatnya, barokahnya.
b. Memiliki amalan-amalan dalam hidup, di antaranya tidak meninggalkan shalat lima waktu, dzikir wirid, shalat tahajjud, membaca serta menghayati bacaan-bacaan Alquran, Asmaul Husna, sholawat nabi.

.

Empat tingkatan pemahaman agama

1. Pemahaman syariat
Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.

2. Pemahaman tarekat
Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara'a: kalau syara'a jalan di dalam kota, maka thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang. Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat. Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru tarekat. Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk. Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb. Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat. Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

3. Pemahaman hakekat
. Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya "sholat mencegah kemunkaran", makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji. Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu.

4. Pemahaman makrifat
Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta. Batinnya sudah dekat dengan Allah. Semua gerakannya lillahitaala, dan janji Allah untuk membantu setiap aktivitas orang tersebut: tidak ada aku, tidak ada kamu; yang ada hanyalah Allah.

Kembali ke daftar judul

TASAWUF

Tahu pada empat silabus/ tingkatan/ maqom ilmu keagamaan menurut ahli tasawuf

1.Pemahaman syari'at
2.Pemahaman tarekat
3.Pemahaman hakikat
4. Pemahaman makrifat

Tasawuf adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, renungan dsb.
Ilmu tasawuf disebut juga sebagai ilmu suluk atau ilmu tarekat.

Dalam perkembangan peradaban di dunia yang semakin materialisme, ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang makin beragam dan meningkat, maka banyak terjadi keguncangan hati serta ketidakstabilan jiwa.

Oleh karena itu terasa pentingnya bimbingan rohani dengan tuntutan agama.
Agama Islam, sebagai jalan untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat kadang-kadang dipahami sebagai indoktrinasi-indoktrinasi yang kaku.
Dalam banyak kejadian sering diucapkan kata-kata kafir, halal, haram, murtat, tanpa memahami hakekatnya.

Ilmu tasawuf berupaya untuk menuntun manusia menuju ketenangan jiwa yang disebut sakinah.
Ketenangan jiwa manusia bersumber dari hati.

Menurut Al-Ghazali ada tiga istilah yang pengertiannya sama, yaitu Qolbun, Nafsun, dan Roh.
Secara harfiah pengertian ketiga istilah tersebut berbeda. Pengertian hati dalam ilmu Tasawuf dibagi menjadi empat:

a. Qolbun
Artinya bolak-balik, setiap waktu berubah-ubah.
Bagi orang yang belum mencapai hakekat, inilah yang disebut sebagai hati.
Perasaannya, jiwanya terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang ada.

b. Dlamirun
Artinya lubuk hati. Orang ini telah mengetahui pedoman hidup, telah mengetahui nilai-nilai kebenaran, tapi kadang-kadang ia bisa lepas kontrol dan tergelincir.

c. Fuadun
Artinya hati nurani. Orang yang bisa menerima kebenaran dan melaksanakannya di dalam setiap perbuatannya.

d. Sirrun
Artinya rahasia hati. Orang yang telah dibimbing oleh Allah.

Dalam kehidupan masyarakat kita sering bertemu dengan orang-orang yang mendapat "barokah" dari Allah dalam bentuk:

a. Orang yang meninggal dunia dengan tenang, khusnul khotimah.
b. Orang yang meninggalkan keturunan manusia-manusia yang saleh.
c. Orang-orang yang di masa tuanya senang walaupun di masa muda penuh kesulitan.
d. Orang-orang yang dalam kesulitan selalu mendapat pertolongan Allah.
e. Orang-orang yang menjalani hidup senantiasa dalam keadaan tenang-tenteram.
f. Orang-orang yang selalu dapat berbuat amal kebajikan dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun.

Untuk mencapai keberkatan tersebut ada jalannya yaitu:

a. Memiliki keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT, rahmatnya, barokahnya.
b. Memiliki amalan-amalan dalam hidup, di antaranya tidak meninggalkan shalat lima waktu, dzikir wirid, shalat tahajjud, membaca serta menghayati bacaan-bacaan Alquran, Asmaul Husna, sholawat nabi.

.

Empat tingkatan pemahaman agama

1. Pemahaman syariat
Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.

2. Pemahaman tarekat
Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara'a: kalau syara'a jalan di dalam kota, maka thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang. Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat. Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru tarekat. Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk. Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb. Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat. Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

3. Pemahaman hakekat
. Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya "sholat mencegah kemunkaran", makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji. Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu.

4. Pemahaman makrifat
Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta. Batinnya sudah dekat dengan Allah. Semua gerakannya lillahitaala, dan janji Allah untuk membantu setiap aktivitas orang tersebut: tidak ada aku, tidak ada kamu; yang ada hanyalah Allah.